Penunjuk arah Suaya, makam para Bangsawan Sangalla'. |
Menurut beberapa penuturan, upacara Rambu Solo paling besar dan meriah adalah saat pemakaman penguasa Sangalla' terakhir, Puang Laso Rinding atau yang dikenal Puang Sangalla’, pada tahun 1972. Saat itu juga Rambu Solo Puang Sangalla didokumentasikan oleh National Geographic sehingga
menjadikan Tana Toraja mulai masyhur di dunia internasional. Semenjak
itu, banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang ke Toraja dan
menyaksikan upacara Rambu Solo.
“Kita akan ke Suaya. Ke tempat makam raja-raja Sangalla’ dan keluarganya.” Basho menginformasikan tujuan selanjutnya. Daerah Sangalla terletak sekitar 10 km di sebelah timur Makale.
Matahari sudah mulai menampakkan wujudnya. Mendung yang dari tadi
menggelayut, perlahan-lahan membuka diri. Ia memberi kesempatan langit
biru menjadi atap yang indah bagi Tana Toraja. Sayangnya, masih
malu-malu. Belum sepenuhnya tulus mengantarkan matahari mengeringkan
tanah-tanah yang basah, sisa hujan. Matahari pun terhijab lagi oleh
mendung putih. Romansa langit biru yang menjadi kombinasi bumi hijau
menguning masih sebatas imajinasi.
Tatkala masuk menyusuri area persawahan dari Makale menuju Sangalla',
kami berhenti. Sebuah tebing dengan pahatan persegi panjang
berlubang-lubang menyambut pandangan kami. Kosong tak ada isinya...
“Harusnya di dalam lubang itu ada Tau-tau, patung boneka dari orang
yang dikuburkan di tebing batu. Hanya saja oleh keluarganya, Tau-tau ini
disimpan di Tongkonan yang terletak di bawahnya.” Jelas Basho.
“Lho kenapa disimpan? Tidak dipajang?”
“Tau-tau rawan dicuri. Banyak orang asing ingin mengoleksi Tau-tau.
Mereka terpesona dengan aura keunikan dan keindahan Tau-tau. Padahal,
Tau-tau dipercaya untuk melindungi keluarga yang masih hidup.“ Saya
paham dan sependapat dengan Basho. Miris memang. Masih ada juga orang
Indonesia yang mau mengorbankan kekayaan tradisi yang tak ternilai
harganya demi memenuhi kebutuhan satu dua orang asing. Hanya demi memperoleh banyak uang.
Perjalanan dilanjutkan ke Suaya. Panorama sawah bertingkat-tingkat
memanjakan pandangan. Hutan di perbukitan hijau lestari. Jejeran
pegunungan granit di kejauhan menyedapkan horison. Semakin elok tatkala
formasi alam ini diselingi rumah-rumah Tongkonan yang begitu khas
Toraja. Tak terasa, saya sudah tiba di tempat parkir Suaya.
100 meter berjalan di setapak yang masih basah. Aroma kesakralan
peristirahatan para raja dan bangsawan mulai terasa. Sayangnya, area ini
terkesan kurang terawat. Rumput-rumput liar tumbuh sesuka hatinya.
Tempat ini sepi pengunjung. Rasanya kami adalah satu-satunya pengunjung
saat itu.
Sebuah tebing tegak lurus menjadi akhir pandangan mata saya. Kira-kira
setinggi 70 meter. Puluhan Tau-tau menyambut saya dengan tangan
terentang. Seperti sebuah sambutan yang ramah dari mereka untuk
kehadiran saya.
![]() |
Deretan Tau-tau tua dengan tangan merentang. Seolah menyambut kehadiran pengunjung. |
![]() |
Kubur tebing batu Suaya, makam Ningrat Sangalla' |
Tau-tau Suaya termasuk yang tua di Toraja. Ada yang berusia
hingga ratusan tahun. Mereka berjejer rapi di atas tebing dengan memakai
pakaian adat khas Toraja. Tau-tau seluruh mendiang lengkap di Suaya. Di
samping lubang Tau-Tau, ada beberapa lubang dengan pintu kayu yang di
dalamnya jasad-jasad darah biru Sangalla ini ditaruh untuk dimakamkan.
“Lihat di bawahnya, ada kuburan berada di tanah.” tunjuk Basho. “Itu adalah pemakaman bagi bangsawan Sangalla yang beragama Islam.” Tertulis di nisan putih bernama Haji Puang Lai Rinding.
Lahir tahun 1905, wafat 23 April 1988. Makam Islam adalah keunikan
yang menjadikan Suaya berbeda dibandingkan kuburan batu lain di Toraja.
Menurut Basho, Haji Puang Lai Rinding adalah bangsawan Toraja
yang merantau keluar dari Tana Toraja. Kemudian dia memeluk Islam hingga
berhaji ke Mekkah. Meski demikian, sebagai orang Toraja, dia tetap
menghormati leluhurnya dengan berpesan dikuburkan di tanah asalnya.
Sebaliknya, orang Toraja juga menghargai agama Islam yang dianut
bangsawan Lai Rinding ini. Penguburan di atas tanah adalah sebuah
‘komunikasi’ yang mengedepankan toleransi dalam masyarakat Toraja.
Dalam kepercayaan Suku Toraja, tanah dianggap sebagai elemen suci. Maka, masyarakat Toraja tidak akan mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam batu atau pohon. Secara geografis, tradisi ini dipengaruhi oleh bentang alam Toraja. Tana Toraja dihiasi oleh pegunungan dan batu granit raksasa sehingga memungkinkan tradisi itu dilaksanakan.
Di depan arah kanan dari kaki bukit dibangun sebuah bangunan mirip
Tongkonan untuk menaruh barang-barang milik mendiang. Di sampingnya ada
pondok penyimpan beberapa perlengkapan penguburan. Ada juga bangunan
cukup besar yang menyimpan beberapa barang kerajaan Sangalla. Hanya
saja, sebagian besar barang kerajaan tak di sini, melainkan disimpan di Museum Buntu Kalando yang merupakan bekas istana Puang Sangalla. Museum ini terletak di atas bukit di Desa Kaero, Sangalla, tak jauh dari Suaya.
Kuburan Batu Suaya merupakan persembahan kepada Puang Tamboro Langi’ dan keturunannya. Puang Tamboro Langi’ merupakan pendiri sekaligus penguasa pertama wilayah Kalindobulanan Lepongan Bulan (Tana Toraja).
Menurut hikayat, dia turun dari langit di puncak Gunung Kandora di
Kecamatan Mengkendek, Tana Toraja pada pertengahan abad 4 M.
Selanjutnya oleh keturunannya, yakni Puang Bullu Mattua, wilayah
Lepongan Bulan dibagi menjadi tiga wilayah (lembang) yaitu Makale,
Sangalla’, dan Mangkendek. Pembagian ini dilakukan di atas suatu
landasan sumpah yang disebut Basse Tallu Lembangna. Ketiga wilayah ini
berkuasa penuh memerintah dan mengatur wilayahnya masing-masing.
Pemimpinnya disebut Puang Basse Kakanna Makale, Puang Basse Tangngana
Sangalla’ dan Puang Basse Adinna Mengkendek.
Meski demikian, secara simbolis ada Puang Tomatasak Kalindobulanan
Lepongan Bulan yang selalu dijabat oleh Puang Basse Tangngana Sangalla’
selama 13 periode mulai dari Puang Palodang sampai Puang Laso’Rinding
(Puang Sangalla’). Wilayah Sangalla mewarisi asli Lepongan Bulan karena
Tongkonan Layuk Kaero yang merupakan istana Lepongan Bulan dibangun oleh
Puang Patta La Bantan itu berada di wilayah Sangalla’.
Hadir di Suaya, seperti melemparkan saya kepada sejarah panjang Tana Toraja. Khususnya masa lalu Bangsawan Sangalla.
![]() |
Lettoan, miniatur bentuk Tongkonan, bekas keranda pembawa jenazah diletakkan di kaki tebing. |
![]() |
Tau-tau berjejer rapi di atas tebing. |
![]() |
Tau-tau yang masih baru milik bangsawan Sangalla'. |
![]() |
Sebuah bangunan berbentuk rumah adat Tongkonan, dijadikan tempat menyimpan alat pekuburan. |
kerenn banget sist
BalasHapusgood
BalasHapus